Refleksi Hari Sumpah Pemuda

Oleh: Nikson Silalahi

28 Oktober 2017 hari ini mengingatkan kita bahwa 89 tahun sudah Sumpah Pemuda dikumandangkan para pendahulu kita. Perwakilan putra-putri Indonesia pada saat itu menyatakan Sumpah yang berisikan: mengaku bertumpah darah yang satu yaitu tanah air Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Masih dalam suasana alam penjajahan para pemuda/i pendahulu kita sudah berhasil mengkristalkan semangat untuk mendirikan sebuah negara yang merdeka.

Pemuda-pemudi pendahulu kita pada saat itu sudah menyakini bahwa untuk dapat merdeka sudah tidak bisa lagi berjuang sendiri atau sekelompok tetapi harus bersama-sama, biarpun itu beda suku, agama, ras, dan antar golongan. Sejarah membuktikan,17 tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945 negeri ini merdeka dan lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perjuangan bersama lintas suku, agama, ras, antar golongan yang mencurahkan air mata, darah bahkan pengorbanan nyawa mengkristal dalam satu tujuan terwujudnya negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Hari ini ibu pertiwi mungkin menangis ketika semangat kebersamaan dan kesatuan yang dulu dipunya oleh pemuda-pemudinya, hari ini banyak raib entah kemana.

Tanah air sepertinya bukan lagi milik bersama, tetapi milik sekelompok penguasa. Katanya satu bangsa tetapi memaksakan kehendak yang merasa lebih berjasa dan lebih layak berkuasa. Bahasa yang seharusnya untuk persatuan nyatanya banyak digunakan untuk perpecahan, menebar kebencian.

Sikap patriotik, sifat kesatria penjunjung nilai-nilai kebenaran, idealisme yang mengedepankan cinta keutuhan tanah air dan bangsa, hari ini tergerus oleh cinta uang dan jabatan. Uang dipertuan, demi uang syahwat pribadi jadi dianggap kewajaran. Uang semakin di depan.

Jabatan dan kepentingan pribadi atau kelompok dicinta mati, demi jabatan dan kepentingan, kemanusiaan dihilangkan. Tanpa sungkan pertontonkan arogansi, ada arogansi agama, ada arogansi suku bahkan arogansi mempertahankan dinasti. Jabatan semakin membuat lupa diri.

Sedemikian banyak anak bangsa yang bisa tuliskan kalimat-kalimat bijak, tetapi semakin sedikit yang bisa menunjukkan keteladanan. Omong doang kata anak muda.

Menyalahkan menjadi hobbi yang gampang…kebenaran hanya soal kepentingan sehingga yang bukan kubunya dicarikan kesalahan dan kelompoknya dicarikan pembenaran. Merasa benar sendiri, merasa bisa sendiri.

Alangkah menyedihkan melihat situasi ini ketika mayoritas anak bangsa sudah sakit hati, alangkah sulitnya memberi pencerahan ketika mayoritas sudah mengidap kebencian. Suku melawan suku bahkan yang sama marga sudah kehilangan kasih. Agama melawan agama bahkan yang satu agama saling menghujat.

Tunjukkan Jati Diri

Kecerdasan tidak lagi untuk kemaslahatan, kalah oleh syahwat keakuan. Kita sudah kehilangan banyak dan akan semakin kehilangan, sebab kaum cendekiawan banyak kehilangan kearifan; sebab kaum terdidik banyak kehilangan kebijaksanaan. Seseorang atau sekelompok orang lebih mengedepankan keakuan dibanding kebersamaan dan kepentingan yang jauh lebih besar.

Uang telah membeli kehormatan, jabatan telah membutakan kemanusiaan dan mayoritas mengagungkan itu yang wajar. Pemilihan Umum untuk memilih wakil rakyat, pemilihan langsung untuk memilih presiden dan kepala daerah terlihat nyata banyak menimbulkan pertikaian, perpecahan, bahkan pembodohan. Demokrasi kita masih jauh dari kualitas, para elite kita masih jauh dari negarawan. Katanya hukum adalah panglima, nyatanya tebang pilih sering mengemuka sehingga keadilan sering hanya untuk segelintir warga.

Ada pengurus partai menawarkan rekomendasi tanpa malu-malu dan jadikan calon pemimpin seperti korban jarahan, ada rakyat menawarkan suara dengan harapan harus dibeli calon pemimpin dan jadikan calon pemimpin seperti pesakitan. Tapi anehnya mereka mengharapkan pemimpinnya bersih dan bijak, tapi anehnya mereka mendamba pembangunan di segala bidang maju pesat.

Para pemuda-pemudi Indonesia saatnya harus bangkit. Negeri ini sepertinya  sudah terlalu dalam terperosok ke lorong gelap, meninggalkan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kebangkitan bangsa hanya bisa dimulai oleh kebangkitan para pemuda-pemudi bangsanya. Bergeraklah untuk tunjukkan jati diri yang baru, yang mengingat sejarah mahalnya harga yang harus dibayar untuk mendirikan dan mempertahankan NKRI.

Jadilah pengawal tegaknya NKRI dengan mencerdaskan anak bangsa dan bukan membodohinya, majukan diri menjadi agen perubahan, agar sistem negeri ini berubah ke arah yang jauh lebih baik. Yang berkemauan dan berkemampuan baik majulah ke dunia politik, supaya orang-orang baik semakin banyak yang berkuasa, mewakafkan kekuasaan untuk pelayanan bangsanya. Masuk dunia politik untuk menjadi pejuang politik,untuk menjadi teladan dan negarawan. Supaya politik uang semakin terpinggirkan, supaya paham intoleransi dan radikalisme semakin terkikiskan.

Inilah saat yang tepat untuk unjuk pengabdian, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan kearifan. Bangsa yang tidak terbeli oleh uang, bangsa yang siap berkalang tanah demi mempertahankan keutuhan, bangsa yang ingat sejarah perjuangannya. Merdeka! (Penulis: Sekjen Pimpinan Pusat Kristen-Katolik Indonesia Raya, Kandidat Bupati Dairi 2019-2024)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.